Siapa yang suka dengan kenaikan harga bensin? Saya yakin sebagian besar
rakyat tidak ada yang suka. Jadi tidak perlu survei-survei segala untuk
membuktikan bahwa sebagian besar rakyat tidak suka dengan kenaikan harga BBM.
Tapi coba survei, apakah rakyat setuju jika harga BBM diturunkan? Saya yakin
jawabnya pasti setuju. Sebab rakyat Indonesia adalah manusia normal. Orang
normal mana yang setuju jika biaya hidupnya makin tinggi?
Ini berlaku untuk semua. Kalangan atas maupun kalangan
bawah –tidak ada orang yang mau biaya hidupnya jadi lebih mahal dari
sebelumnya. Jadi, kalau ditanya apakah mereka setuju harga BBM naik, jawabnya
pasti tidak. Tidak perlu pakai pembuktian segala.
Ini sama dengan pajak. Coba saja survei, berapa
persenkah rakyat yang suka dan senang membayar pajak? Saya rasa jumlahnya hanya
secuil. “Tidak ada orang yang suka rela membayar pajak,” ujar Hendry Ford,
pengusaha dan produsen mobil di AS.
Kembali ke rencana pemerintah menaikan harga BBM,
pasti ini sesuatu yang tidak disukai rakyat. Jangan berdebat soal jumlah
subsidi yang membebani APBN. Itu urusan pemerintah. Atau berdebat tentang
larinya sebagian besar uang subsidi BBM ke orang-orang kaya, sebab pengguna
kendaraan pribadi adalah mereka yang tergolong mampu. Sebab ujung-ujungnya
dengan kenaikan harga BBM, rakyat miskin juga akan kena dampaknya. Harga-harga
barang kebutuhan lain otomatis jadi naik juga bukan?
Untung saja sistem politik kita demokratis, jadi
pemerintah tidak bisa sembarangan naikan harga bensin. Mereka harus meminta
persetujuan DPR dulu untuk mensyahkan APBN yang memuat patokan harga bensin di
masyarakat dan berapa besaran subsidi bisa dikucurkan. Nah, disinilah untungnya
kita punya wakil di parlemen. Saat ini posisi setuju dan tidaknya kenaikan harga
BBM ada di tangan parlemen, buka dipemerintah. Parlemen mempunyai hak budget
untuk ikut menentukan komposisi besaran anggaran dalam APBN termasuk apakah
harga bensin harus naik.
Nah, karena tidak ada rakyat yang mau biaya hidupnya
lebih mahal, jika partai mau cari simpati publik, gampang. Tolak kenaikan harga
BBM. Toh, sudah pasti rakyat juga akan menolak. Tidak usah cari program yang
rasional buat menarik simpati rakyat. Menolak kenaikan harga BBM akan jauh
lebih seksi. Soal apakah dalam skala APBN dan jangka panjang, penolakan
kenaikan harga itu akan justru memberatkan keuangan negara dan akhirnya
berdampak pada kemampuan negara mensejahterakan rakyatnya, itu urusan
lain. Lagian susah menerangkannya kepada rakyat tentang mekanisme
keuangan negara. Susah menerangkan bagaimana beban yang akan dialami neraca
pembayaran negara jika subsidi BBM makin membengkak. Yang rakyat tahu, harga
naik. Tolak!
Partai Gerindra dan Hanura sudah menyatakan menolak
usulan kenaikan itu. Wajar. Mereka adalah partai oposisi yang memang tabiatnya
harus berseberangan dengan pemerintah. PDIP juga menolak kenaikan harga bensin.
Makum, mereka juga oposisi. Meski, pada 10 Janari lalu Ketua Umum PDIP sempat
melontarkan usulan kepada pemerintah untuk menaikan harga BBM. “Menaikkan harga
BBM paling realistis,” kata Presiden RI ke-5 ini seusai acara peringatan ulang
tahun PDI Perjuangan di kantor pusatnya di Jalan Lenteng Agung, Jakarta, Selasa
10 Januari 2012. Saat itu mungkin Bu Mega sedang berfikir rasional mengenai
bagaimana beban anggaran negara dikelola.
Tapi, okelah. Meski sedikit aneh karena berubah-ubah
usulannya, dari pengusul menjadi menentang keras, toh PDIP adalah partai
oposisi. Mungkin saja pertimbangan politik saat diusulkan dengan sekarang
berbeda. Jadi sikapnya juga berbeda pula. Jika politik dibaca sebagai barang
dagangan, rakyat adalah konsumen. Nah, sebagai parpol, wajar saja jika
tujuannya ingin memuaskan konsumennya. Setidaknya dalam jangka pendek.
Kita berharap sebagai parpol, PDIP bisa memfungsikan
anggotanya di parlemen untuk menentang kenaikan itu. Sebab salah satu fungsi
DPR adalah hak budget yang ikut menyetujui usulan APBN. Nah, di APBN (P) itulah
nantinya tercantum angka-angka soal BBM. Dengan demikian, rakyat yang tidak
setuju kenaikan BBM menjadi terwakili suaranya di parlemen. Bukankah itu memang
mekanisme politik yang sehat?
Yang saya tidak habis pikir, bagaimana sebagai sebuah
partai, PDIP misalnya, juga ikut dalam proses demonstrasi jalanan untuk
menentang kenaikan BBM ini? Lha, kalau proses penyaluran aspirasinya sama
dengan mahasiswa atau LSM, buat apa kita memilih wakil di parlemen? Padahal
penentu naik-tidaknya harga BBM itu ada di DPR, bukan dijalanan. PDIP sudah
punya kursi di parlemen, buat apa juga ikut-ikutan turun ke jalan. Di gedung
parlemenlah semestinya proses politik yang sehat berlangsung. Dengan segala
perdebatannya. Dengan segala trik dan mekanisme politiknya.
Selanjutnya, yang juga membuat bingung adalah sikap
PKS. Secara resmi PKS adalah partai pemerintah. Tiga orang wakilnya duduk di kabinet,
bahkan ada yang menjadi bagian dari jajaran menteri ekonomi. Jika usulan
kenaikan BBM ini adalah usulan pemerintah (eksekutif), maka itu sebetulnya bisa
dibaca sebagai juga usulan dari menteri-menteri dari PKS ini. Sebagai bagian
dari eksekutif, tentu menteri-menteri PKS juga punya suara dalam rapat kabinet
ketika ingin memutuskan usulan kenaikan harga BBM.
Tapi PKS ikut menolak usulan kenaikan harga BBM ini.
Sebagai partai, PKS tentu bisa memperjuangkan aspirasi konstituennya lewat
parlemen. Tapi, sebetulnya karena PKS bagian dari eksekutif, harusnya lebih
dulu diperjuangkan lewat saluran itu. Sebab selain pemerintahan Partai
Demokrat, kabinet yang sekarang juga pemerintahan PPP, Golkar, PAN, PKB dan
PKS. Artinya menteri-menteri wakil partai itu bisa bicara keras saat rapat
kabinet berlangsung dan menolak usulan kenaikan BBM ini. Sebab sejatinya itulah
fungsi sebuah partai menempatkan menteri-menterinya di dalam kabinet : agar
mereka bisa mempengaruhi jalannya pemerintahan sesuai dengan indeologi dan aspirasi
konstituen partai tersebut. Lain soal jika jatah menteri itu hanya dipandang
dari sudut bancakan dana APBN.
Yang juga membingungkan, bagaimana para kepala daerah
ikut-ikutan demo penolakan kenaikan harga BBM. Bukankah mereka adalah eksekutif
juga? Bukankah mereka bagian dari pemerintahan juga? Sebagai bagian dari
pemerintah, bukankah ada forum lain yang lebih resmi untuk menyuarakan
pikirannya, ketimbang demonstrasi jalanan?
Mungkin ini masalahnya. Ketika Megawati 10 Januari
lalu mengusulkan kenaikan harga BBM, barangkali dia sedang berfikir dalam
posisi melihat komposisi keuangan APBN secara rasional. Begitupun ketika
menteri-menteri rapat kabinet dan didepannya direntangkan kalkulasi APBN,
mereka memang berfikir harga bensin wajar diusulkan naik.
Sesuatu yang rasional, belum tentu menyenangkan.
Sebagai partai, juga sebagian politisi, targetnya harus tetap mempesona rakyat.
Ini salah satu bahan jualan untuk menjaring suara. Lebih baik sekarang usulan
kenaikan BBM itu ditolak, sebab rakyat saat ini sedang menolak dengan keras
(sampai kapanpun tidak pernah akan ada rakyat yang riang gembira menerima
kenaikan BBM). Toh, melihat kalkulasi APBN dan kecenderungan harga minyak
dunia, mau tidak mau pemerintah mesti harus mengusulkan kenaikan harga BBM juga.
Mungkin tahun depan. Jika sekarang ditolak, artinya dengan setengah tercekik
pemerintah juga akan mengusulkan kenaikan harga BBM di tahun depan. Mungkin
saat itu waktu yang pas untuk menerima usulan kenaikan harga BBM. Kemarahan
rakyat jauh lebih bagus jika mendekati 2014.
Mungkin ini menyangkut soal etika politik. Selain soal
penolakan dan penerimaan kenaikan harga BBM, tampaknya rakyat juga perlu
diajarkan bagaimana sebuah dinamika politik bisa dijalankan dengan lebih
beretika. Bagaimana etika sebuah parpol menyalurkan aspirasinya, juga bagaimana
partai yang ikut dalam pemerintahan sebaiknya harus bersikap. Juga bagaimana
para kepala daerah bisa menyalurkan protesnya dengan saluran yang wajar.
Rakyat senang jika harga BBM tidak jadi naik. Soal
rasionalisasi perhitungan APBN, itu bukan urusan rakyat. Tapi, rakyat juga
butuh pertunjukan politik yang lebih beretika…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar